Ewuh nang Desa

Banyak orang berpikir bahwa tinggal di desa itu enak. Makanan masih murah, tetangga ramah, udara segar cerah, dan sebagainya – dan sebagainya. Namun, apakah demikian?

O tentu tidak begitu, Ferguso. Ya beberapa memang ada yang nyrempet mirip. Tapi ya nyrempet saja. Wong kalau benar-benar disawang ki malah sebenernya abot alias berat. Ini saya mau ambil satu contoh saja loh ya soalnya wong kepasan. Jadi beberapa hari lalu saya nganter juragan alias simbok saya untuk nyumbang manten di salah satu kerabatnya. Daerahnya nun jauh hampir dekat dengan Pantai Samas sana. Meskipun jauh ya jebulane tetep hedon dan ngota banget gitu.

Ini saya datang jagong manten nggak pas hari H loh ya. Ini H-1. Bener-bener ijab kabulnya masih besok dan resepsi juga masih besok siang. Namun begitu, euphoria pesta pernikahannya sudah terasa atmospherenya dari H-1 ini. Nek tenda dan segala sewa kursi jelas sudah dari jauh hari ya. Tapi hiburan elekton jelas sudah dari H-1 ini soadar-sodara. Ketika tamu datang untuk nyumbang, disambut oleh para among tamu yang kebanyakan masih sanak family yang punya hajat. Diakhiri oleh manten sarimbit. Ibu-bapak juga ndak ketinggalan ini. Buku tamu juga sudah berjejer gitu di pintu masuk. Langsung diminta duduk, ambil makan dan minum (snack) kemudian makan besar. Nah, uang sumbangan dimasukan ke kotak sumbangan. Sudah seperti layaknya kalau njagong manten pas hari H, kan? Ya bedane paling gur tanggale.

IMG_20180812_164512

Cukup sampai di situ? O tentu tidak. Ketika pulang, nyangoni yang nyumbang dengan ulih-ulih itu wajib ngain. Apalagi kalau yang nyumbang kerabat baik, kerabat dekat, atau yang punya jabatan. Ha cetha le menehi wae karo munduk-munduk. Sambil ngecuprus basa-basi gitu. Ya bentuk ramah tamah ala desa yang nek bagi saya kadang lucu. 😀

Poin saya ki lebih kepada, jebulane kalau mau punya hajatan di desa ki tidak bisa dikatakan murah. La itu jal dilihat lagi. Belum hari H sudah harus nyewa elekton. Jane ini nggak urgent. Ning karena liane juga gitu, njuk dadi melu-melu. “Hayo wangune, mosok ne kae isa aku raisa!”. Ya gitu-gitu itu yang sebenernya membuat semakin membengkak yang namanya anggaran ewuh. Belum lagi yang namanya gengsi. Ini belum lekas pasang tratak untuk rewang saja sudah mikir pre-wed dan sebagainya-dan sebagainya. Ya meskipun kabeh ki kembali ke yang punya hajat ya. Ning budaya ra gelem kalah ro melu-melu ki tetap subur j nek di desa ki. Atau malah jangan-jangan ini hanya terjadi di desa saya? Nek saya piir tidak. Pasti ya tempat lain juga begitu.

IMG_20180901_162000

Itu baru yang perkara H-1 loh ya. Belum yang pas hari H ne dan bahkan sebelum e. Sepengalaman dan setahu saya, minim kalau ewuh di desa ki ya tiga hari. Itu baru yang mulai masaknya, kalau dihitung mulai dari pasang tratak ya seminggu. Itu dari hari pertama pasang tratak, persediaan makanan sudah harus siap dan bisa membengkak karena bisa jadi digotongroyongkan dan ini bisa berarti sedesa semua tumplek untuk datang membantu pasang tratak. Oke, kemudian masak memasak dimulai. Masak untuk apa? Kalau di desa ada yang namanya nasi punjungan. Ini dikirim ke kerabat, teman, dan handai taulan termasuk tetangga dan saudara. Berapa jumlahnya? Tidak pasti. Tapi biasanya seratusan kalau untuk ukuran manten. Itu katakanlah, satu paket nasi punjungan seharga 50ribu, monggo dikalikan dengan jumlah minimal yaitu seratus. Nah, wes piro kui? Itu baru yang dikirim. La mosok tetangga yang bantu masak tidak dikirimi untuk yang dirumah? Jadi katakanlah ketambahan 25 paket untuk kirim ke tetangga. Wes piro jal? Haha

Nek dihitung-hitung ngeri sekali memang adan ewuh di desa apalagi kalau mantu. Ning, prinsip ora wedi ki cen masih hidup jadi ya sehingga. Meskipun besar biaya yang dikeluarkan, mereka biasanya sudah memperhitungkan akan ada berapa rupiah dari uang sumbangan yang bisa dipakai untuk paling tidak ngebokne atau nutup pas biaya yang dikeluarkan. Jadi pie? ORA WEDI!

5 thoughts on “Ewuh nang Desa

  1. Mungkin ini tanda kalo kita gampang termakan isu nggak mutu ato kebawa trend nggak perlu gitu kali ya? (eh ni komen nyambung gak to?) 🙂

  2. aku senyum2 sendiri baca tulisan e mbak e.. emang realitas sing terjadi neng desaku juga demikian mbak. apalagi nek ndelalah ada yg berdekatan tgl e, membanding-bandingkan pun dimulai muehehehe

  3. Wauw ternyata mahal sekali biaya resepsi di desa

Leave a comment